Setelah basah seluruhnya, dia pun mengoleskan
batangan sabun tadi ke tubuhku mulai dari tanganku. Ada perasaan aneh
lagi yang muncul setiap kali dia menggosokkan sabun ke badanku. Perasaan
aneh ini sangat terasa sekali ketika
batangan sabun dioleskan ke payudaraku yang bengkak itu. Perasaan geli
yang sangat menyebabkan putik pinangku menjadi mengeras. Begitu sabun
dioleskan, tangannya pun bermain mengelus lembut kulit tubuhku.
Aku perhatikan sang dukun berbadan gagah dengan kumis tipis dan jenggot yang mulai tumbuh sedikit. Kulitnya hitam manis seperti berminyak, mungkin karena dia pekerja keras. Lengan dan kakinya berotot dan rambutnya hitam lurus namun dipangkas sedang. Secara keseluruhan badannya cukup atletis. Penilaian ini hanya aku buat akhir-akhir ini, karena pada waktu itu aku hanya terbengong-bengong saja sebab seumurku belum pernah melihat orang seperti dia. Aku hanya bisa kagum dan terheran-heran. Mungkin dia mengerti dengan keadaanku ini. Aku jelas dapat melihat bahwa matanya selalu melirik ke arahku.
"Oh, iya, saya lupa, namaku Atin. Orang biasa memanggilku Bang Atin," katanya lagi sambil memperkenalkan diri.
Seterusnya kami pun memperkenalkan nama kami. Kakakku mulai menceritakan keadaan kami dan tentunya keadaan aku yang kata kakakku tidak normal. Rupanya selama hidup di hutan, banyak kata-kata yang kami tidak mengerti dari yang disampaikan oleh Bang Atin. Bang Atin pun menceritakan bahwa dia pernah mempunyai teman hidup namun saat ini sudah meninggal seperti orang tua kami. Entah mengapa kami merasa seperti senasib saja.
Bang Atin dalam bercerita amat simpatik sekali sehingga kami merasa senang dan akrab. Hari sudah mulai malam dan kami pun ditawarkan untuk makan malam bersama Bang Atin. Kami tentu saja bersedia karena memang sudah lapar sekali. Setelah itu kakakku, Antan, ditawarkan mandi dulu baru tidur sedangkan aku harus mandi dulu sebelum pengobatan dilakukan. Akan lebih baik apabila aku mandi dengan diarahkan oleh Bang Atin. Itu yang dikatakan oleh Bang Atin. Setelah selesai kakakku mandi maka pembicaraan tentang pengobatanpun dimulai.
"Ini Munah, aku panggil adik saja, ya! Pengobatannya tidak bisa hanya satu hari saja. Sekurang-kurangnya harus tiga hari. Kalian boleh tinggal di sini sampai pengobatannya selesai. Pengobatannya tidak perlu dibayar. Pengobatannya akan lebih baik dilakukan pada malam hari," kata Bang Atin.
"Yah, kalau memang begitu tidak apa-apa, yang penting adikku bisa sehat," jawab kakakku.
"Tetapi dia tidak bisa langsung sehat, perlu beberapa minggu baru pulih, dan yang penting kalian nanti bisa mengerti bagaimana cara menjaga kesehatannya. Aku akan ajarkan Munah nanti cara-cara olah tubuh untuk menjaga kesehatannya." kata Bang Atin lagi pada kakakku.
Aku hanya diam saja karena tidak begitu mengerti, apalagi dengan kata-kata "olah tubuh" yang diucapkannya itu. Aku bersedia diobatinya karena aku ingin betulbetul sehat. Hari sudah berangkat malam, suara jengkrik dan belalang malam pun mulai bersahutan. Kakakku ditawarkan oleh Bang Atin untuk tidur di atas ranjang rotan yang terletak di ruang tengah. Langsung kakakku tidur karena mungkin dari tadi sudah lelah. Bang Atin, sang dukun, menyelimuti kakakku dengan selembar kain panjang. Tidak lama berselang suara dengkur kakakku pun mulai terdengar. Bang Atin mulai berbicara kepadaku tentang cara-cara pengobatan yang akan dilakukannya.
"Munah, kamu harus mandi dulu, Abang akan membantu kamu membersihkan tubuhmu, supaya penyakit tidak mudah lengket," katanya.
Kemudian dia tersenyum manis kepadaku dan mengajakku ke perigi di ruang belakang rumahnya. Aku mengikutinya dengan keadaan yang masih terheran-heran. Aku melihat dia mengambil semacam batangan dan selembar serabut. Akhirnya aku baru mengerti bahwa itu yang dinamakan sabun dan sabut penggosok. Setelah sampai di perigi yang disekelilingnya dipagari oleh bambu, aku pun disuruhnya berdiri. Sambil menunduk dia mendekatkan hidungnya ke bahuku namun belum menyentuhku. Aku ukur tinggi badanku kira-kira sebahunya.
"Kamu jarang mandi, ya? Tubuhmu masih bau keringat. Kamu tidak perlu takut kepada ku," katanya.
Aku pun berusaha tenang dan pasrah terhadap apa yang dilakukannya. Dia mulai menyentuh tanganku dengan menggenggam jemari kananku. Aku terkejut, ada getaran baru yang belum pernah kurasakan. Aku belum pernah disentuh selembut itu oleh seorang lelaki lain. Getaran demi getaran meletup dari dalam dadaku ketika semakin erat Bang Atin menggenggam jemari tanganku.
"Kamu harus buka dulu pakaian biar Abang mudah memandikan kamu," pintanya.
Aku masih bingung dan diam. Kemudian tangannya mulai membuka simpul kain sarungku dan melepaskannya ke bawah. Kain sarungku pun jatuh ke lantai dan langsung basah oleh sisa-sisa air. Selanjutnya baju ku pun dibukanya dan dijatuhkan lagi di lantai. Terpampanglah tubuhku tanpa sehelai benangpun, karena aku tidak pernah memakai yang namanya celana dalam, singlet dan beha. Barang-barang itupun baru kutahu akhir-akhir ini. Di keremangan sinar bulan ditambah sedikit cahaya lampu togok yang redup tubuhku diperhatikannya dengan seksama.
Beberapa kali kulihat dia memandangku penuh perasaan dari atas sampai ke bawah. Aku semakin bingung saja, perasaan aneh berkecamuk dalam diriku. Dia merangkul pundakku dan menarikku ke arah baskom besar berisi air. Aku disuruhnya berjongkok dan dia pun mulai menyiramkan air ke tubuhku mulai dari rambut kepalaku. Akh, dingin sekali malam itu. Rambutku yang panjang lebat dan hitam pun sudah basah. Seluruh tubuhku tak lepas dari guyurannya.
Tubuhku bergetar dan menggelinjang ketika jemari tangannya mengusap-usap payudaraku yang belum pernah disentuh itu. Tidak lepas satu inci pun kulit tubuhku yang luput dari olesan sabunnya. Setelah itu dengan lembut digosokkannya sabut lembut itu ke tubuhku. Aku semakin kegelian saja. Aku tak sadar lagi perasaan yang kurasakan saat itu. Aku telah lupa dengan dinginnya malam itu, berganti dengan geli akibat sentuhannya. Setelah selesai memandikan aku dia mulai melap badanku dengan sehelai kain tebal yang akhirnya kutahu namanya handuk.
Rambutku dikeringkannya dan seluruh tubuhku kering dilapnya. Aku masih tetap terdiam dan terpana dengan perlakuannya yang sangat lembut tersebut. Kemudian dia menyelimutkan handuk tersebut ke sekeliling badanku yang m, enutupi dadaku dan pinggulku. Selanjutnya dia menarik tanganku untuk terus ke ruang tengah. Sambil lewat aku melihat kakakku Antan masih tertidur sangat pulasnya di atas ranjang rotan kecil itu. Bang Atin mendekati kakakku dan memperhatikannya, sepertinya dia memastikan apakah kakakku betul-betul tertidur atau tidak.
Kemudian Bang Atin kembali mendekatiku dan dia menempatkan satu tangannya pada pinggulku dan satunya lagi di tengkukku. Aku terkejut dan menghindar sedikit, namun dengan cepat dia mengangkatku sehingga aku pun berada dalam gendongannya. Aku digendong ke kamarnya. Aku pasrah saja dan ada perasaan senang yang muncul ketika dia memperlakukan begitu. Aku betul-betul tidak mengerti dengan keadaan ini, sudah sekian lama aku belum mendapatkan kasih sayang dari seseorang seperti itu. Kemudian dia mendudukkan aku di pinggir ranjang yang ukurannya kira-kira muat 2 orang tersebut. Dia sibuk menambah alas ranjang itu dengan beberapa lembar tikar dari daun pandan.
Sekarang ranjang itu kelihatan sudah tebal (mungkin maksudnya agar serasa di atas kasur dan jelas aku tambah tidak mengerti). Aku perhatikan kamar itu cukup sederhana sekali, dengan satu ranjang dari kayu dan lantainya di alas tikar. Di dindingnya bergantungan kain-kain yang sepertinya sudah dipakai oleh Bang Atin. Aku melihat satu lemari yang hanya menyerupai kotak sebagai tempat kain-kainnya.
Kemudian satu buah kelambu yang tergantung di atas ranjang yang belum terpasang. Aku merasakan bau yang kurang menyenangkan di kamar itu, namun Bang Atin tampaknya mengerti dengan pikiranku. Dia keluar kamar dan tak berapa lama kembali lagi dengan membawa satu mangkok yang berisi dedaunan. Kemudian dia menyiramkan dengan ujung jarinya air dalam mangkok tadi dan suasana pun menjadi wangi. Rupanya dia membawa wewangian dari dedaunan.
"Sekarang coba adik berbaring di atas ranjang ini!" perintahnya.
Aku pun menurut dan dia pun naik ke ranjang dan menggeser aku ke tepi sebelah dinding. Kulihat dia pun menurunkan kelambu dan memasangnya pada pinggir-pinggir ranjang. Jadilah kami berdua saja yang berada dalam kelambu jarang tersebut. Cahaya temaram lampu minyak itu menampakkan perbedaan kulit kami. Aku tampak seperti sosok putih sedangkan dia seperti sosok kehitaman namun masih jelas ku lihat lekuk-lekuk tubuh kami.
Aku yang hanya memakai handuk sementara dia masih dengan kain sarungnya. Perlahan dia membuka singletnya dan tampaklah olehku kulit dadanya yang bidang. Kemudian dia memiringkan tubuhnya ke arahku dan dadaku terasa berdegup keras kembali menantikan apa yang akan dilakukannya kepadaku.
"Munah, mungkin kamu belum mengerti apa kegunaan milik kamu itu. Sebenarnya banyak kegunaannya. Abang akan jelaskan padamu," begitu katanya memulai bicara.
"Sekarang Abang buka handuk kamu ya?" pintanya.
Aku menurut saja, perlahan dibukanya simpul handukku dan disingkapkannya ke samping. Terbukalah tubuh telanjangku di hadapannya. Tubuh gadis 14 tahun yang sedang subur-suburnya. Kalau boleh aku misalkan sekarang mungkin seperti tubuh Marshanda, artis sinetron itu, tetapi buah dadaku mungkin lebih besar dan rambutku tentunya lebih panjang.
"Kamu tahu kan, ini namanya payudara," katanya seraya tangannya mulai menyentuh dan menggenggamnya. Kembali tubuhku bergetar kegelian.
"Yang ini namanya itup," katanya lagi saat dia memegang ujung puting susuku.
"Kamu pasti merasakan kegelian dan lama-lama akan terasa enak," lanjutnya lagi.
"Ya, Bang," jawabku singkat.
Aku perhatikan sang dukun berbadan gagah dengan kumis tipis dan jenggot yang mulai tumbuh sedikit. Kulitnya hitam manis seperti berminyak, mungkin karena dia pekerja keras. Lengan dan kakinya berotot dan rambutnya hitam lurus namun dipangkas sedang. Secara keseluruhan badannya cukup atletis. Penilaian ini hanya aku buat akhir-akhir ini, karena pada waktu itu aku hanya terbengong-bengong saja sebab seumurku belum pernah melihat orang seperti dia. Aku hanya bisa kagum dan terheran-heran. Mungkin dia mengerti dengan keadaanku ini. Aku jelas dapat melihat bahwa matanya selalu melirik ke arahku.
"Oh, iya, saya lupa, namaku Atin. Orang biasa memanggilku Bang Atin," katanya lagi sambil memperkenalkan diri.
Seterusnya kami pun memperkenalkan nama kami. Kakakku mulai menceritakan keadaan kami dan tentunya keadaan aku yang kata kakakku tidak normal. Rupanya selama hidup di hutan, banyak kata-kata yang kami tidak mengerti dari yang disampaikan oleh Bang Atin. Bang Atin pun menceritakan bahwa dia pernah mempunyai teman hidup namun saat ini sudah meninggal seperti orang tua kami. Entah mengapa kami merasa seperti senasib saja.
Bang Atin dalam bercerita amat simpatik sekali sehingga kami merasa senang dan akrab. Hari sudah mulai malam dan kami pun ditawarkan untuk makan malam bersama Bang Atin. Kami tentu saja bersedia karena memang sudah lapar sekali. Setelah itu kakakku, Antan, ditawarkan mandi dulu baru tidur sedangkan aku harus mandi dulu sebelum pengobatan dilakukan. Akan lebih baik apabila aku mandi dengan diarahkan oleh Bang Atin. Itu yang dikatakan oleh Bang Atin. Setelah selesai kakakku mandi maka pembicaraan tentang pengobatanpun dimulai.
"Ini Munah, aku panggil adik saja, ya! Pengobatannya tidak bisa hanya satu hari saja. Sekurang-kurangnya harus tiga hari. Kalian boleh tinggal di sini sampai pengobatannya selesai. Pengobatannya tidak perlu dibayar. Pengobatannya akan lebih baik dilakukan pada malam hari," kata Bang Atin.
"Yah, kalau memang begitu tidak apa-apa, yang penting adikku bisa sehat," jawab kakakku.
"Tetapi dia tidak bisa langsung sehat, perlu beberapa minggu baru pulih, dan yang penting kalian nanti bisa mengerti bagaimana cara menjaga kesehatannya. Aku akan ajarkan Munah nanti cara-cara olah tubuh untuk menjaga kesehatannya." kata Bang Atin lagi pada kakakku.
Aku hanya diam saja karena tidak begitu mengerti, apalagi dengan kata-kata "olah tubuh" yang diucapkannya itu. Aku bersedia diobatinya karena aku ingin betulbetul sehat. Hari sudah berangkat malam, suara jengkrik dan belalang malam pun mulai bersahutan. Kakakku ditawarkan oleh Bang Atin untuk tidur di atas ranjang rotan yang terletak di ruang tengah. Langsung kakakku tidur karena mungkin dari tadi sudah lelah. Bang Atin, sang dukun, menyelimuti kakakku dengan selembar kain panjang. Tidak lama berselang suara dengkur kakakku pun mulai terdengar. Bang Atin mulai berbicara kepadaku tentang cara-cara pengobatan yang akan dilakukannya.
"Munah, kamu harus mandi dulu, Abang akan membantu kamu membersihkan tubuhmu, supaya penyakit tidak mudah lengket," katanya.
Kemudian dia tersenyum manis kepadaku dan mengajakku ke perigi di ruang belakang rumahnya. Aku mengikutinya dengan keadaan yang masih terheran-heran. Aku melihat dia mengambil semacam batangan dan selembar serabut. Akhirnya aku baru mengerti bahwa itu yang dinamakan sabun dan sabut penggosok. Setelah sampai di perigi yang disekelilingnya dipagari oleh bambu, aku pun disuruhnya berdiri. Sambil menunduk dia mendekatkan hidungnya ke bahuku namun belum menyentuhku. Aku ukur tinggi badanku kira-kira sebahunya.
"Kamu jarang mandi, ya? Tubuhmu masih bau keringat. Kamu tidak perlu takut kepada ku," katanya.
Aku pun berusaha tenang dan pasrah terhadap apa yang dilakukannya. Dia mulai menyentuh tanganku dengan menggenggam jemari kananku. Aku terkejut, ada getaran baru yang belum pernah kurasakan. Aku belum pernah disentuh selembut itu oleh seorang lelaki lain. Getaran demi getaran meletup dari dalam dadaku ketika semakin erat Bang Atin menggenggam jemari tanganku.
"Kamu harus buka dulu pakaian biar Abang mudah memandikan kamu," pintanya.
Aku masih bingung dan diam. Kemudian tangannya mulai membuka simpul kain sarungku dan melepaskannya ke bawah. Kain sarungku pun jatuh ke lantai dan langsung basah oleh sisa-sisa air. Selanjutnya baju ku pun dibukanya dan dijatuhkan lagi di lantai. Terpampanglah tubuhku tanpa sehelai benangpun, karena aku tidak pernah memakai yang namanya celana dalam, singlet dan beha. Barang-barang itupun baru kutahu akhir-akhir ini. Di keremangan sinar bulan ditambah sedikit cahaya lampu togok yang redup tubuhku diperhatikannya dengan seksama.
Beberapa kali kulihat dia memandangku penuh perasaan dari atas sampai ke bawah. Aku semakin bingung saja, perasaan aneh berkecamuk dalam diriku. Dia merangkul pundakku dan menarikku ke arah baskom besar berisi air. Aku disuruhnya berjongkok dan dia pun mulai menyiramkan air ke tubuhku mulai dari rambut kepalaku. Akh, dingin sekali malam itu. Rambutku yang panjang lebat dan hitam pun sudah basah. Seluruh tubuhku tak lepas dari guyurannya.
Tubuhku bergetar dan menggelinjang ketika jemari tangannya mengusap-usap payudaraku yang belum pernah disentuh itu. Tidak lepas satu inci pun kulit tubuhku yang luput dari olesan sabunnya. Setelah itu dengan lembut digosokkannya sabut lembut itu ke tubuhku. Aku semakin kegelian saja. Aku tak sadar lagi perasaan yang kurasakan saat itu. Aku telah lupa dengan dinginnya malam itu, berganti dengan geli akibat sentuhannya. Setelah selesai memandikan aku dia mulai melap badanku dengan sehelai kain tebal yang akhirnya kutahu namanya handuk.
Rambutku dikeringkannya dan seluruh tubuhku kering dilapnya. Aku masih tetap terdiam dan terpana dengan perlakuannya yang sangat lembut tersebut. Kemudian dia menyelimutkan handuk tersebut ke sekeliling badanku yang m, enutupi dadaku dan pinggulku. Selanjutnya dia menarik tanganku untuk terus ke ruang tengah. Sambil lewat aku melihat kakakku Antan masih tertidur sangat pulasnya di atas ranjang rotan kecil itu. Bang Atin mendekati kakakku dan memperhatikannya, sepertinya dia memastikan apakah kakakku betul-betul tertidur atau tidak.
Kemudian Bang Atin kembali mendekatiku dan dia menempatkan satu tangannya pada pinggulku dan satunya lagi di tengkukku. Aku terkejut dan menghindar sedikit, namun dengan cepat dia mengangkatku sehingga aku pun berada dalam gendongannya. Aku digendong ke kamarnya. Aku pasrah saja dan ada perasaan senang yang muncul ketika dia memperlakukan begitu. Aku betul-betul tidak mengerti dengan keadaan ini, sudah sekian lama aku belum mendapatkan kasih sayang dari seseorang seperti itu. Kemudian dia mendudukkan aku di pinggir ranjang yang ukurannya kira-kira muat 2 orang tersebut. Dia sibuk menambah alas ranjang itu dengan beberapa lembar tikar dari daun pandan.
Sekarang ranjang itu kelihatan sudah tebal (mungkin maksudnya agar serasa di atas kasur dan jelas aku tambah tidak mengerti). Aku perhatikan kamar itu cukup sederhana sekali, dengan satu ranjang dari kayu dan lantainya di alas tikar. Di dindingnya bergantungan kain-kain yang sepertinya sudah dipakai oleh Bang Atin. Aku melihat satu lemari yang hanya menyerupai kotak sebagai tempat kain-kainnya.
Kemudian satu buah kelambu yang tergantung di atas ranjang yang belum terpasang. Aku merasakan bau yang kurang menyenangkan di kamar itu, namun Bang Atin tampaknya mengerti dengan pikiranku. Dia keluar kamar dan tak berapa lama kembali lagi dengan membawa satu mangkok yang berisi dedaunan. Kemudian dia menyiramkan dengan ujung jarinya air dalam mangkok tadi dan suasana pun menjadi wangi. Rupanya dia membawa wewangian dari dedaunan.
"Sekarang coba adik berbaring di atas ranjang ini!" perintahnya.
Aku pun menurut dan dia pun naik ke ranjang dan menggeser aku ke tepi sebelah dinding. Kulihat dia pun menurunkan kelambu dan memasangnya pada pinggir-pinggir ranjang. Jadilah kami berdua saja yang berada dalam kelambu jarang tersebut. Cahaya temaram lampu minyak itu menampakkan perbedaan kulit kami. Aku tampak seperti sosok putih sedangkan dia seperti sosok kehitaman namun masih jelas ku lihat lekuk-lekuk tubuh kami.
Aku yang hanya memakai handuk sementara dia masih dengan kain sarungnya. Perlahan dia membuka singletnya dan tampaklah olehku kulit dadanya yang bidang. Kemudian dia memiringkan tubuhnya ke arahku dan dadaku terasa berdegup keras kembali menantikan apa yang akan dilakukannya kepadaku.
"Munah, mungkin kamu belum mengerti apa kegunaan milik kamu itu. Sebenarnya banyak kegunaannya. Abang akan jelaskan padamu," begitu katanya memulai bicara.
"Sekarang Abang buka handuk kamu ya?" pintanya.
Aku menurut saja, perlahan dibukanya simpul handukku dan disingkapkannya ke samping. Terbukalah tubuh telanjangku di hadapannya. Tubuh gadis 14 tahun yang sedang subur-suburnya. Kalau boleh aku misalkan sekarang mungkin seperti tubuh Marshanda, artis sinetron itu, tetapi buah dadaku mungkin lebih besar dan rambutku tentunya lebih panjang.
"Kamu tahu kan, ini namanya payudara," katanya seraya tangannya mulai menyentuh dan menggenggamnya. Kembali tubuhku bergetar kegelian.
"Yang ini namanya itup," katanya lagi saat dia memegang ujung puting susuku.
"Kamu pasti merasakan kegelian dan lama-lama akan terasa enak," lanjutnya lagi.
"Ya, Bang," jawabku singkat.
Dia
malah meneruskan meremas payudaraku kiri dan kanan. Sesekali di
putarnya "itup" atau pentilku. Dengan lembut tangannya mengelus dadaku
dan meremas-remas payudaraku hingga aku menggelinjang hebat sehingga
menimbulkan suara derit pada ranjang kayu tersebut.
"Sshshhsshh," aku hanya sanggup mendesis atas perlakuannya yang memberikan sejuta rasa nikmat yang belum pernah kurasa. Kemudian jari tangannya terus meraba sampai ke leherku dan aku tidak sadar ketika merasakan ada rasa lembut di dadaku, rupanya dia telah mengulum itup ku dengan mulutnya serta memainkan lidahnya pada putingku.
"Ohh, akh, ohh, ssh," rintihku saat itu.
"Aku harus membetulkan itup kamu dulu dengan cara melemaskannya pakai mulut," katanya sambil berbisik dan tangannya terus meraba-raba dadaku.
Aku mendengar lenguhan nafasnya yang keras dan membuatku seperti senang begitu saja. Aku betul-betul terpedaya dengan perlakuan yang diberikan oleh Bang Atin. Aku tidak tahu apakah kakakku di luar mendengar atau tidak suara kami di kamar itu apalagi suara derit ranjang kayu itu. Perlahan kemudian jemari Bang Atin berpindah menyusuri perutku ke bawah dan kemudian naik lagi ke atas dan begitu berulang-ulang hingga aku merasakan sesuatu yang enak di pangkal pahaku.
"Dik, ini kamu tahu namanya?" tanyanya padaku ketika tapak tangannya ditempelkan pada gundukan pangkal pahaku.
"Itu tempat kencing aku Bang," jawabku karena memang aku belum tahu namanya.
"Ya, namanya epot, dan gunanya bukan untuk kencing saja," terangnya.
Aku diam sambil menunggu gerakan tangannya yang kurasa semakin berkurang.
"Abang akan tunjukkan cara menggunakannya dan pasti kamu senang," katanya lagi.
Kemudian kurasakan tangannya mulai mengelus-elus milikku itu yang baru ditumbuhi bulu-bulu halus tersebut. Aku merasa sensasi yang aneh dan nikmat. Sesekali ujung jemarinya menyentuh lubang vaginaku dan terasa sangat geli sekali. Ada rasa pancaran energi kejutan listrik yang muncul saat itu. Kemudian Bang Atin kulihat membuka kain sarungnya dan kulihat dari selangkangnya keluar benda besar panjang. Aku terpana melihatnya dalam keremangan cahaya saat itu. Aku terkejut ketika tangannya mencoba mengangkat tanganku dan meyentuhkannya ke batang besar tadi.
"Oh, tidak apa-apa Munah, ini namanya Kitang, milik laki-laki," katanya.
"Kitang Abang ini gunanya untuk mengobati kamu," tambahnya lagi.
Aku diam dan mencerna kata-katanya. Aku merasa benda itu panas dan berdenyut, tetapi aku tidak menggenggamnya karena aku masih gugup. Akh, aku tidak mampu berpikir logis lagi. Aku percayakan saja kepadanya. Kemudian Bang Atin menggeser posisinya. Dia merangkak di atasku dan kulihat benda besar itu tergantung keras di atas pinggangku. Kemudian dia merendahkan kepalanya dan aku hanya pasrah sambil memejamkan mata.
Tiba-tiba kudengar dengus nafasnya semakin dekat saja dan kurasakan mulutnya mulai melumat bibirku. Aku semakin terkejut dan seperti tersengat arus listrik saja. Beberapa kali bibirnya melumat-lumat bibirku, kadang-kadang lidahnya menerobos masuk menyapu-nyapu langit-langit rongga mulutku. Aku merasa kegelian sangat. Tiba-tiba ujung lidahnya menggoyang-goyang lidahku. Aku semakin terpana dan merasa semakin aneh dengan itu. Aku merasa tubuhnya semakin rendah saja dan akhirnya kurasakan semakin merapat ke badanku dan terasa sudah menindih tubuhku. Dadaku serasa sesak dan degup nafasku hampir tak terkendali lagi.
Aku merasakan ada sesuatu yang membelah celah pahaku yang terasa panas dan lembut. Aku berpikir mungkin itu benda besar tadi yang dikenalkannya dengan nama "kitang" Bibirnya masih tetap menggumuli mulutku. Tidak henti-hentinya lidahnya menyapu tenggorokanku dan aku pun mulai mencoba untuk menggerakkan lidahku mencari rasa yang lebih enak. Kadang-kadang dia mengisap lidahku hingga aku merasa seakan putus saja namun kemudian dilepasnya.
Sementara itu tangannya merengkuh punggung ku, dan menghimpitkan dadaku dengan dadanya. Sedangkan benda yang dibawah tadi berdenyut-denyut dan semakin panas saja. Aku semakin tersiksa ketika dia mulai menggerakkan pahanya menggeser-geser pahaku. Rasa yang aneh lagi muncul pada gundukan epotku itu, akhirnya kutahu itu yang namanya terangsang berat. Kitangnya mulai menyundul lubang epotku dan terasa enak sekali. Kemudian seluruh tubuhnya kurasakan bergerak-gerak di atasku yang menimbulkan rangsangan hebat pada bibirku, dadaku dan tentu saja epotku. Aku merasa diriku tidak terkendali lagi, bergerak ke kiri dan kanan menahan kenikmatan yang pertama itu.
Sementara suara derit ranjang semakin menjadi-jadi dan kelambu pun bergoyang-goyang serta enguh nafas Bang Atin dan aku pun tidak beraturan lagi. Tubuhku bergetar hebat dan pinggulku menghentak-hentak dan aku merasakan seakan mau pipis yang tertahan. Sensasi yang tidak terbendung akhirnya kualami, tubuhku menegang dan akhirnya lemas setelah menghentak-hentak sejadi-jadinya. Rupanya aku telah mengalami yang namanya orgasme pertama dalam hidupku.
Bang Atin melepaskan kuluman bibirnya dan aku pun lega dapat bernapas kembali, namun dia masih tetap di atasku. Aku masih merasakan benda itu dicelah pahaku yang kurapatkan. Kulihat Bang Atin tersenyum kepadaku. Aku merasakan itu suatu senyuman indah yang merasuki hatiku. Mungkin adalah senyuman kemenangan baginya.
"Munah, kamu pasti tadi rasakan nikmat sangat, bukan?" tanyanya padaku.
"Ehm, ya," jawabku sambil menahan deru nafasku yang belum normal.
"Masih ada kenikmatan lain yang harus kau dapatkan," katanya lagi.
Aku terdiam dan kucoba mencerna kata-katanya. Kenikmatan macam apa lagi yang akan diberikannya. Namun kemudian dia berguling dan dengan cepat dia menyambar handuk dan melilitkannya di pinggangnya. Selanjutnya dia turun dari ranjang dan menyibakkan kelambu serta terus keluar. Aku masih terdiam dan perlahan kuraba-raba tubuhku, hingga aku tersadar bahwa aku rupanya telanjang bulat. Aku mencoba membuka pikiran dan akhirnya aku ingat kakakku, Antan, yang tidur di luar.
Aku pun duduk dan segera kuambil handukku, kulilitkan dipinggangku. Aku menyibakkan kelambu dan suara derit ranjang pun bergema kembali dan aku terus berjalan ke dekat pintu, rencanaku akan keluar melihat kakakku. Tiba-tiba Bang Atin sudah kembali masuk dan aku terkejut ketika kami hampir bertabrakan di pintu. Secepat kilat Bang Atin memelukku dan berbisik kepadaku.
"Ayo ke dalam lagi, kakakmu masih tidur pulas!" ajaknya.
Aku terpaksa menurut saja. Dengan cekatan dia mengangkatku dan menggendongku ke ranjang. Kulihat dia menanggalkan handuknya dan melemparkannya ke lantai, kemudian giliran handukku yang dilemparkannya ke lantai. Jadilah aku kembali bugil di hadapannya. Aku beranikan mataku yang sayu menatapnya dan kulihat matanya tajam seperti ingin memakanku hingga timbul juga rasa ngeriku. Namun dia menenangkanku.
"Kamu jangan takut, Abang tadi janji akan mengobatimu," bisiknya.
"Sebentar lagi Abang akan gunakan kitang Abang mengobatimu, dan kamu akan merasa senang," tambahnya lagi.
Aku kembali pasrah ketika mulutnya mulai mengulum bibirku, terus dilumatnya dan semakin lama mulutnya kurasakan berpindah ke leherku dan melumuri leherku kiri dan kanan. Aku merasakan kegelian seperti tadi yang mulai melanda. Kemudian dia menaikiku dan menindihku kembali. Benda panas tadi kembali membelah celah pahaku. Bibirnya terus bergerak ke bawah dan berlabuh di itupku sebelah kanan, sementara jemari kirinya memutar-mutar itup kiriku. Begitu lama mulutnya bersarang di situ sambil menyedot-nyedot itupku. Aku sempat berpikir mungkin itu cara pengobatan supaya payudaraku mengecil. Tetapi aku heran kenapa pengobatannya menjadi enak begini.
Kemudian Bang Atin beralih ke payudara satu lagi yang membuatku semakin dilanda kenikmatan. Dia malah terus menyonyot itupku. Aku hanya mampu mendesis menahan gejolak nafsu. Bang Atin kemudian menyusurkan lidahnya melewati pusarku dan terus ke bawah, kemudian naik lagi ke atas dan menggelitik pusarku. Setelah itu kurasakan lidahnya telah sampai ke gundukan epotku. Lidahnya menjalari kitaran selangkanganku dan terus memandikan bulu-bulu halus yang tumbuh di sana hingga aku merasakan kegelian sangat dan menyebabkan aku merasa ada cairan yang keluar.
Sesekali lidahnya menerobos masuk ke dalam lubang epotku dan terasa seperti mengadukaduk seluruh isinya. Kemudian dia menggerakkan ujung lidahnya pada kacangan dalam epotku (aku tahu namanya kemudian sebagai klitoris) hingga membuatku berkelojotan dan kembali pinggulku menghentak-hentak kuat menahan kenikmatan hebat yang sedang kurasakan. Semakin kuat aku mengerang semakin kuat lidahnya mengaduk-aduk epotku dan malah kedua tangannya pun memegang pantatku dan meremasnya kuat-kuat sampai akhirnya kenikmatan luar biasa kembali melanda diriku.
Aku merasa pipis kembali, seluruh tubuhku menegang dan aku menangkap kepalanya dan dengan erat kutekan ke epotku. Aku sudah dua kali merasakannya. Pastilah ranjang dan kelambu kami itu bergoyang seperti gajah yang dikasih selimut. Bayangkan betapa gaduhnya suara ranjang, dan bisa saja membangunkan kakakku. Aku kemudian tersadar melihat kelambu kami rupanya tersingkap dan pintu kamar tidak tertutup. Rupanya Bang Antan tadi lupa menutupnya.
Aku merasa lemas sekali saat itu, kemudian kulihat Bang Atin menegakkan kepalanya dan tersenyum kepadaku. Kemudian dia berkata: "Sekarang Abang mau mengobatimu. Abang akan memasukkan obat ke dalam dirimu"
Aku terdiam dengan nafas yang ngos-ngosan. Kulihat bibirnya kembali mendekati mulutku dan kemudian kembali berlabuh melumat bibirku. Aku berusaha melepaskan diri dan menunjuk-nunjuk ke arah pintu, berharap Bang Atin sadar dan tahu bahwa kakakku masih di luar. Dengan cepat dan dalam kondisi telanjang Bang Atin melangkah ke pintu dan melongok ke luar kemudian masuk lagi langsung menutup pintu. Mungkin Bang Atin masih tidur. Kira-kira waktu itu sudah hampir tengah malam.
Bersambung . . . .
"Sshshhsshh," aku hanya sanggup mendesis atas perlakuannya yang memberikan sejuta rasa nikmat yang belum pernah kurasa. Kemudian jari tangannya terus meraba sampai ke leherku dan aku tidak sadar ketika merasakan ada rasa lembut di dadaku, rupanya dia telah mengulum itup ku dengan mulutnya serta memainkan lidahnya pada putingku.
"Ohh, akh, ohh, ssh," rintihku saat itu.
"Aku harus membetulkan itup kamu dulu dengan cara melemaskannya pakai mulut," katanya sambil berbisik dan tangannya terus meraba-raba dadaku.
Aku mendengar lenguhan nafasnya yang keras dan membuatku seperti senang begitu saja. Aku betul-betul terpedaya dengan perlakuan yang diberikan oleh Bang Atin. Aku tidak tahu apakah kakakku di luar mendengar atau tidak suara kami di kamar itu apalagi suara derit ranjang kayu itu. Perlahan kemudian jemari Bang Atin berpindah menyusuri perutku ke bawah dan kemudian naik lagi ke atas dan begitu berulang-ulang hingga aku merasakan sesuatu yang enak di pangkal pahaku.
"Dik, ini kamu tahu namanya?" tanyanya padaku ketika tapak tangannya ditempelkan pada gundukan pangkal pahaku.
"Itu tempat kencing aku Bang," jawabku karena memang aku belum tahu namanya.
"Ya, namanya epot, dan gunanya bukan untuk kencing saja," terangnya.
Aku diam sambil menunggu gerakan tangannya yang kurasa semakin berkurang.
"Abang akan tunjukkan cara menggunakannya dan pasti kamu senang," katanya lagi.
Kemudian kurasakan tangannya mulai mengelus-elus milikku itu yang baru ditumbuhi bulu-bulu halus tersebut. Aku merasa sensasi yang aneh dan nikmat. Sesekali ujung jemarinya menyentuh lubang vaginaku dan terasa sangat geli sekali. Ada rasa pancaran energi kejutan listrik yang muncul saat itu. Kemudian Bang Atin kulihat membuka kain sarungnya dan kulihat dari selangkangnya keluar benda besar panjang. Aku terpana melihatnya dalam keremangan cahaya saat itu. Aku terkejut ketika tangannya mencoba mengangkat tanganku dan meyentuhkannya ke batang besar tadi.
"Oh, tidak apa-apa Munah, ini namanya Kitang, milik laki-laki," katanya.
"Kitang Abang ini gunanya untuk mengobati kamu," tambahnya lagi.
Aku diam dan mencerna kata-katanya. Aku merasa benda itu panas dan berdenyut, tetapi aku tidak menggenggamnya karena aku masih gugup. Akh, aku tidak mampu berpikir logis lagi. Aku percayakan saja kepadanya. Kemudian Bang Atin menggeser posisinya. Dia merangkak di atasku dan kulihat benda besar itu tergantung keras di atas pinggangku. Kemudian dia merendahkan kepalanya dan aku hanya pasrah sambil memejamkan mata.
Tiba-tiba kudengar dengus nafasnya semakin dekat saja dan kurasakan mulutnya mulai melumat bibirku. Aku semakin terkejut dan seperti tersengat arus listrik saja. Beberapa kali bibirnya melumat-lumat bibirku, kadang-kadang lidahnya menerobos masuk menyapu-nyapu langit-langit rongga mulutku. Aku merasa kegelian sangat. Tiba-tiba ujung lidahnya menggoyang-goyang lidahku. Aku semakin terpana dan merasa semakin aneh dengan itu. Aku merasa tubuhnya semakin rendah saja dan akhirnya kurasakan semakin merapat ke badanku dan terasa sudah menindih tubuhku. Dadaku serasa sesak dan degup nafasku hampir tak terkendali lagi.
Aku merasakan ada sesuatu yang membelah celah pahaku yang terasa panas dan lembut. Aku berpikir mungkin itu benda besar tadi yang dikenalkannya dengan nama "kitang" Bibirnya masih tetap menggumuli mulutku. Tidak henti-hentinya lidahnya menyapu tenggorokanku dan aku pun mulai mencoba untuk menggerakkan lidahku mencari rasa yang lebih enak. Kadang-kadang dia mengisap lidahku hingga aku merasa seakan putus saja namun kemudian dilepasnya.
Sementara itu tangannya merengkuh punggung ku, dan menghimpitkan dadaku dengan dadanya. Sedangkan benda yang dibawah tadi berdenyut-denyut dan semakin panas saja. Aku semakin tersiksa ketika dia mulai menggerakkan pahanya menggeser-geser pahaku. Rasa yang aneh lagi muncul pada gundukan epotku itu, akhirnya kutahu itu yang namanya terangsang berat. Kitangnya mulai menyundul lubang epotku dan terasa enak sekali. Kemudian seluruh tubuhnya kurasakan bergerak-gerak di atasku yang menimbulkan rangsangan hebat pada bibirku, dadaku dan tentu saja epotku. Aku merasa diriku tidak terkendali lagi, bergerak ke kiri dan kanan menahan kenikmatan yang pertama itu.
Sementara suara derit ranjang semakin menjadi-jadi dan kelambu pun bergoyang-goyang serta enguh nafas Bang Atin dan aku pun tidak beraturan lagi. Tubuhku bergetar hebat dan pinggulku menghentak-hentak dan aku merasakan seakan mau pipis yang tertahan. Sensasi yang tidak terbendung akhirnya kualami, tubuhku menegang dan akhirnya lemas setelah menghentak-hentak sejadi-jadinya. Rupanya aku telah mengalami yang namanya orgasme pertama dalam hidupku.
Bang Atin melepaskan kuluman bibirnya dan aku pun lega dapat bernapas kembali, namun dia masih tetap di atasku. Aku masih merasakan benda itu dicelah pahaku yang kurapatkan. Kulihat Bang Atin tersenyum kepadaku. Aku merasakan itu suatu senyuman indah yang merasuki hatiku. Mungkin adalah senyuman kemenangan baginya.
"Munah, kamu pasti tadi rasakan nikmat sangat, bukan?" tanyanya padaku.
"Ehm, ya," jawabku sambil menahan deru nafasku yang belum normal.
"Masih ada kenikmatan lain yang harus kau dapatkan," katanya lagi.
Aku terdiam dan kucoba mencerna kata-katanya. Kenikmatan macam apa lagi yang akan diberikannya. Namun kemudian dia berguling dan dengan cepat dia menyambar handuk dan melilitkannya di pinggangnya. Selanjutnya dia turun dari ranjang dan menyibakkan kelambu serta terus keluar. Aku masih terdiam dan perlahan kuraba-raba tubuhku, hingga aku tersadar bahwa aku rupanya telanjang bulat. Aku mencoba membuka pikiran dan akhirnya aku ingat kakakku, Antan, yang tidur di luar.
Aku pun duduk dan segera kuambil handukku, kulilitkan dipinggangku. Aku menyibakkan kelambu dan suara derit ranjang pun bergema kembali dan aku terus berjalan ke dekat pintu, rencanaku akan keluar melihat kakakku. Tiba-tiba Bang Atin sudah kembali masuk dan aku terkejut ketika kami hampir bertabrakan di pintu. Secepat kilat Bang Atin memelukku dan berbisik kepadaku.
"Ayo ke dalam lagi, kakakmu masih tidur pulas!" ajaknya.
Aku terpaksa menurut saja. Dengan cekatan dia mengangkatku dan menggendongku ke ranjang. Kulihat dia menanggalkan handuknya dan melemparkannya ke lantai, kemudian giliran handukku yang dilemparkannya ke lantai. Jadilah aku kembali bugil di hadapannya. Aku beranikan mataku yang sayu menatapnya dan kulihat matanya tajam seperti ingin memakanku hingga timbul juga rasa ngeriku. Namun dia menenangkanku.
"Kamu jangan takut, Abang tadi janji akan mengobatimu," bisiknya.
"Sebentar lagi Abang akan gunakan kitang Abang mengobatimu, dan kamu akan merasa senang," tambahnya lagi.
Aku kembali pasrah ketika mulutnya mulai mengulum bibirku, terus dilumatnya dan semakin lama mulutnya kurasakan berpindah ke leherku dan melumuri leherku kiri dan kanan. Aku merasakan kegelian seperti tadi yang mulai melanda. Kemudian dia menaikiku dan menindihku kembali. Benda panas tadi kembali membelah celah pahaku. Bibirnya terus bergerak ke bawah dan berlabuh di itupku sebelah kanan, sementara jemari kirinya memutar-mutar itup kiriku. Begitu lama mulutnya bersarang di situ sambil menyedot-nyedot itupku. Aku sempat berpikir mungkin itu cara pengobatan supaya payudaraku mengecil. Tetapi aku heran kenapa pengobatannya menjadi enak begini.
Kemudian Bang Atin beralih ke payudara satu lagi yang membuatku semakin dilanda kenikmatan. Dia malah terus menyonyot itupku. Aku hanya mampu mendesis menahan gejolak nafsu. Bang Atin kemudian menyusurkan lidahnya melewati pusarku dan terus ke bawah, kemudian naik lagi ke atas dan menggelitik pusarku. Setelah itu kurasakan lidahnya telah sampai ke gundukan epotku. Lidahnya menjalari kitaran selangkanganku dan terus memandikan bulu-bulu halus yang tumbuh di sana hingga aku merasakan kegelian sangat dan menyebabkan aku merasa ada cairan yang keluar.
Sesekali lidahnya menerobos masuk ke dalam lubang epotku dan terasa seperti mengadukaduk seluruh isinya. Kemudian dia menggerakkan ujung lidahnya pada kacangan dalam epotku (aku tahu namanya kemudian sebagai klitoris) hingga membuatku berkelojotan dan kembali pinggulku menghentak-hentak kuat menahan kenikmatan hebat yang sedang kurasakan. Semakin kuat aku mengerang semakin kuat lidahnya mengaduk-aduk epotku dan malah kedua tangannya pun memegang pantatku dan meremasnya kuat-kuat sampai akhirnya kenikmatan luar biasa kembali melanda diriku.
Aku merasa pipis kembali, seluruh tubuhku menegang dan aku menangkap kepalanya dan dengan erat kutekan ke epotku. Aku sudah dua kali merasakannya. Pastilah ranjang dan kelambu kami itu bergoyang seperti gajah yang dikasih selimut. Bayangkan betapa gaduhnya suara ranjang, dan bisa saja membangunkan kakakku. Aku kemudian tersadar melihat kelambu kami rupanya tersingkap dan pintu kamar tidak tertutup. Rupanya Bang Antan tadi lupa menutupnya.
Aku merasa lemas sekali saat itu, kemudian kulihat Bang Atin menegakkan kepalanya dan tersenyum kepadaku. Kemudian dia berkata: "Sekarang Abang mau mengobatimu. Abang akan memasukkan obat ke dalam dirimu"
Aku terdiam dengan nafas yang ngos-ngosan. Kulihat bibirnya kembali mendekati mulutku dan kemudian kembali berlabuh melumat bibirku. Aku berusaha melepaskan diri dan menunjuk-nunjuk ke arah pintu, berharap Bang Atin sadar dan tahu bahwa kakakku masih di luar. Dengan cepat dan dalam kondisi telanjang Bang Atin melangkah ke pintu dan melongok ke luar kemudian masuk lagi langsung menutup pintu. Mungkin Bang Atin masih tidur. Kira-kira waktu itu sudah hampir tengah malam.
Bersambung . . . .
0 komentar:
Posting Komentar